Rabu, 14 November 2012

Great leaders

Asas-Asas Kepemimpinan Hindu

1.    Panca Dasa Pramiteng Prabhu
Kata Panca Dasa Pramiteng Prabhu terdiri dari kata Panca artinya lima, Dasa artinya sepuluh, Pramiteng artinya sifat yang utama, Prabhu artinya pemimpin/raja. Panca Dasa Pramiteng Prabhu berarti lima belas macam sifat utama yang patut dipedomani dan dilaksanakan oleh setiap pemimpin dalam memimpin masyarakat/bangsa dan negaranya.
Bagian-bagian Panca Dasa Pramiteng Prabhu
  1. Wijaya, artinya berlaku bijaksana dan penuh hikmat dalam menghadapi masalah yang sangat penting
  2. Mantriwira, artinya bersifat pemberani dalam membela negara
  3. Wicaksanengnaya, artinya sangat bijaksana dalam memimpin
  4. Natanggwan, artinya mendapat kepercayaan dari rakyat dan negara
  5. Satyabhakti aprabhu, artinya selalu setia dan taat pada atasan
  6. Wakmiwak, artinya pandai berbicara baik di depan umum maupun berdiplomasi
  7. Sarjawaupasawa, artinya bersifat sabar dan rendah hati
  8. Dhirotsaha, artinya bersifat teguh hati dalam segala usaha
  9. Teulelana, artinya bersifat teguh iman, selalu riang atau optimis dan antusias
  10. Dibyacita, artinya bersifat lapang dada atau toleransi dapat menghargai pendapat orang lain
  11. Tansatresna, artinya tidak terikat pada kepentingan golongan/pribadi yang bertentangan dengan kepentingan umum
  12. Masihsatresnabhuwana, artinya bersifat menyayangi isi alam
  13. Ginengpratidina, artinya setiap hari berusaha berbuat baik dan berusaha tidak mengulangi perbuatan-perbuatan buruk.
  14. Sumantri, artinya bersifat menjadi abdi negara dan pensihat yang baik
  15. Anayakenmusuh, artinya mampu membersihkan musuh-musuh negara
2.    Sad Warnaning Raja Niti
Kata Sad Warnaning Rajaniti berasal dari bahasa sansekerta. Dari kata Sad artinya enam, Warnaning artinya kesan yang diperoleh; corak rupa; corak; ragam; sifat sesuatu yang utama, Raja artinya debu; abu; tepung sari; bunga, dan Niti artinya kemudi; pimpinan; politik dan sosial etik; pertimbangan; kebijakan (Kamus Kecil Sansekerta-Indonesia). Sad Warnaning Rajaniti adalah enam kesan, corak, dan sifat yang utama sebagai persyaratan kepemimpinan bagi seorang raja atau pemimpin yang harus dilaksanakan dalam kepemimpinannya guna memimpin bangsa dan negara.
Bagian-bagian Sad Warnaning Rajaniti
  1. Abhigainnika, artinya seorang pemimpin harus mampu menarik perhatian yang positif dari masyarakat, bangsa, dan negara yang dipimpinnya.
  2. Prajna, artinya seorang pemimpin harus memiliki daya kreatif yang benar yang sesuai dengan dharma guna memimpin bangsa dan negara ini.
  3. Utsaha, artinya seorang pemimpin harus memiliki daya kreatif yang luhur untuk memajukan kepentingan masyarakatnya.
  4. Sakya Samanta, artinya seorang pemimpin harus mampu mengontrol bawahannya dan sekaligus memperbaiki hal-hal yang dipandang kurang baik untuk menjadi lebih baik.
  5. Atma sampad, artinya pemimpin harus memiliki moral yang baik dan luhur yang dapat dipedomani oleh bawahannya dan masyarakat yang dipimpinnya.
  6.  Aksudra Parisatha, artinya seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk memimpin persidangan para mentrinya dan menarik kesimpulan yang bijaksana, sehingga dapat diterima oleh semua pihak.
3.    Panca Upaya Sandhi
Kata Panca Upaya Sandhi terdiri dari kata, Panca artinya lima, Upaya artinya usaha; akal; ikhtiar; (untuk mencapai suatu maksud, memecahkan persoalan, mencari jalan keluar), Sandhi artinya rahasia; kode; berita. Panca Upaya Sandhi berarti lima macam usaha dan upaya yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin untuk mengahadapi dan menyelesaikan persoalan serta tantangan yang menjadi tanggungjawabnya. Ajaran Panca Upaya Sandhi tersurat dalam lontar Siwabuddha Gama Tattwa.
Bagian-Bagian Panca Upaya Sandhi
  1. Maya, artinya seorang pemimpin hendaknya memiliki dan melakukan upaya dalam pengumpulan data atau permasalahan yang belum jelas kedudukan dan profesinya, sehingga dapat dilakukan penataan lebih lanjut untuk mencapai kesempurnaan.
  2. Upeksa, artinya seorang pemimpin hendaknya memiliki upaya dan kemampuan untuk meneliti dan menganalisis semua data dan informasi yang ada, sehingga semua permasalahan yang dihadapi itu dapat diletakkan pada proporsinya masing-masing.
  3.  Indrajala, artinya seorang pemimpin hendaknya memiliki upaya dan kemampuan untuk mencarikan jalan keluar setiap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat yang dipimpinnya
  4. Wikrama, artinya seorang pemimpin hendaknya memiliki upaya dan kemampuan untuk melaksanakan semua rencana dan rumusan yang telah diprogramkan sebelumnya. Dengan demikian, masyarakat yang dipimpinnya menjadi bertambah percaya akan program selanjutnya.
  5. Logika, artinya seorang pemimpin dalam melaksanakan semua tindakannya, hendaknya selalu didahului dengan pertimbangan nalar yang sehat dan dapat diterima oleh masyarakat kebanyakan. Segala sesuatu yang diupayakannya bukan didasarkan pada emosi semata.
4.    Nawa Natya
Kata Nawa Natya terdiri dari kata Nawa artinya sembilan, Natya artinya teguh; bertata susila (Kamus Bahasa Bali-Indonesia, 125). Nawa Natya dapat diartikan sembilan sifat dan sikap teguh serta bersusila yang harus dimiliki oleh para pemimpin dan para pembantu-pembantunya, guna mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan bangsa dan negara yang dipimpinnya.
Bagian-bagian Nawa Natya
  1. Pradnya Widagda, artinya seseorang yang bijaksana dan mahir dalam berbagai ilmu pengetahuan serta teguh pendirian.
  2. Wira Sarwa Yudha, artinya pemberani, pantang menyerah dalam menghadapi berbagai masalah atau tantangan.
  3. Paramartha, artinya para pemimpin hendaknya memiliki sifat yang mulia dan luhur.
  4. Dhirotsaha, artinya para pemimpin hendaknya memiliki ketekunan dan keuletan dalam semua pekerjaannya.
  5. Pragiwakya, artinya para pemimpin pandai berbicara di depan umum dan pandai berdiplomasi.
  6. Samaupaya, artinya para pemimpin hendaklah setia pada janji yang dibuatnya dengan pihak lain atau masyarakatnya.
  7. Laghawangartha, artinya para pemimpin hendaknya tidak bersifat pamrih terhadap harta benda di dalam hidup ini
  8. Wruh ring Sarwa Bastra, artinya para pemimpin tahu cara mengatasi macam-macam kerusuhan.
  9. Wiweka, artinya para pemimpin dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Senin, 12 November 2012

Proses Penciptaan Alam Semesta



Proses Penciptaan Menurut Kitab Rgveda
                   Donder (2007) menguraikan bahwa untuk memperoleh jawaban yang benar atas segala sesuatu, maka dalam Hinduisme menggunakan pendekatan strata atau hirarkhi sumber-sumber kebenaran atau strata hukum kebenaran. Adapun strata tersebut sebagaimana diuraikan dalam kitab suci Manawa Dharmasastra II.6, 10, 12, 14 yaitu (1) Sruti (wahyu) yang terdapat dalam Catur Veda; (2) Smrti (tafsir, ingatan); (3) Acara; (4) Sadacara; (5) Atmanastuti. Tunduk pada strata hukum kebenaran tersebut, maka uraian tentang penciptaan dalam buku kosmologi ini juga memulai dengan penelusuran pada mantram-mantram yang terdapat dalam kitab suci Catur Veda. Veda diyakini sebagai nafas-Nya Tuhan dan juga sebagai kata-kata-Nya Tuhan, karena itu maka uraian tentang penciptaan alam semesta ini diyakini berdasarkan kata-kata (sabda, wahyu) Tuhan.
                   Dalam buku karya kompilasi yang berjudul “Ilmu, Etika, dan Agama” (Menyingkap Tabir Alam dan Manusia), Dr. I Made Titib, Ph.D (2006) seorang doktor Vedik dan doktor Kajian Budaya, menulis tentang “Penciptaan Jagat Raya Menurut Hindu dan Tanggapan Terhadap Teori-teori Ilmiah Baru”. Pada karya tersebut Titib menguraikan tentang makna mantram-mantram RgVeda yang dapat dirujuk sebagai konsep dan rumusan dasar dalam memahami proses penciptaan alam semesta berdasarkan Hinduisme (Veda). Titib (2006, 168-169) menterjemahkan beberapa mantram Nasadiyasukta ‘Terjadinya Alam Semesta’ (Rgveda X. 129. 1-7) sebagaimana dapat dilihat dalam uraian berikut ini.

Pada waktu itu, tidak ada makhluk (eksistensi) maupun non makhluk (non eksistensi); pada waktu itu tidak ada atmosfir dan juga tidak ada lengkung langit di luarnya. Pada waktu itu apakah yang menutupi, dan di mana? Apakah air yang tak terduga dalamnya yang ada di sana. (RgVeda X.129.1)

Waktu itu tidak ada kematian, pun juga tidak ada kehidupan (makhluk), tidak ada tanda yang menandakan siang dan malam. Yang Maha Esa bernafas tanpa nafas menurut kekuatannya sendiri. Bernafas menurut kekuatan-Nya sendiri. Diluar dia tidak ada apapun juga. (RgVeda X.129.2)

Pada mula pertama kegelapan ditutupi kegelapan. Semua yang ada ini adalah keterbatasan yang tak dapat dibedakan. Yang ada pada waktu itu adalah kekosongan dan yang tanpa bentuk. Dengan tapas (tenaga panas) yang luar biasa lahirlah kesatuan yang kosong. (RgVeda X.129.3)

Pada awal mulanya keinginan (Tuhan) menjadi bermanifestasi yang merupakan benih awal dan benih semangat. Para rsi setelah meditasi dalam hatinya menemukan dengan kearifannya hubungan antara eksistensi dan non eksistensi. (RgVeda X.129.4)

Sinarnya terentang keluar, apakah ia melintang, apakah ia di bawah atau di atas. Kemudian ada kemampuan memperbanyak diri dan kekuatan yang luar bisa dahsyatnya, materi gaib ke sini dan energi ke sana. (RgVeda X.129.5)

Siapa yang sungguh-sungguh mengetahui dan memaparkannya di sini, dari manakah datangnya alam semesta yang menjadi ada ini? Orang-orang bijaksana lebih belakang dari ciptaan alam semesta ini, karena itu siapakah yang mengetahui dari mana munculnya (ciptaan) ini. (RgVeda X.129.6)

Sesungguhnya Dia telah menciptakan alam semesta ini, serta mengendalikannya (di dalam kekuasaan-Nya). Dia yang mengawasi alam semesta ini berada di atas angkasa yang tak terhingga, sesungguhnya Dia mengetahui alam semesta ini seluruhnya dan “wahai manusia” janganlah mengakui eksistensi lain yang mana pun sebagai Pencipta alam semesta ini. (RgVeda X.129.7)
                   Selain tujuh mantram tersebut di atas, Titib (2006: 169-170) juga menunjuk mantram lainnya yang dapat memberikan petunjuk atau informasi tentang siapa, dengan apa, dan bagaimana proses penciptaan alam semesta ini dapat terwujud. Hal tersebut dapat dilihat pada mantram berikut :

Tuhan Maha pencipta, yang memancarkan cahaya-Nya dalam berbagai wujud, dan yang selalu menganugerahkan kebajikan kepada semua ciptaan-Nya. Yang Maha Bercahaya menerangi jagat raya, sorga, dan selalu bercahaya di luar Fajar.(Rgveda V.81.2).

Segala sesuatu merupakan ekspresi pancaran dari segala cahaya. Ia yang muncul dari keadaan Gelap (malam Brahma). Ia yang sangat mengagumkan, Ia yang membentang sangat jauh dan mengejawantahkan diri- Nya.(Rgveda III.26.7).

                   Selanjutnya Titib (2006: 170) mengutip pendapat Reddy, bahwa di dalam Rgveda 1.113.1 dinyatakan alam semesta sebagai Wujud Yang Agung (Supreme Form). Hal tersebut merujuk kepada tiga kondisi yang Maha Suci, yaitu ; status caratham, jagatas tasthustas, dan amrtam, yakni (1) yang tidak bergerak dan kekal abadi dan yang berubah-ubah, (2) yang tidak terbatas dan yang terbatas, dan (3) yang hidup abadi dan fana. Selanjutnya Titib memberikan deskripsi lebih luas melalui argumentasi yang merujuk pada mantram Rgveda X.190.1 sebagai mana uraiannya bahwa; kekuatan aktif yang bersinar terang benderang merupakan kuasa Tuhan Yang Maha Esa, bermanifestasi melalui hukum-Nya yang abadi, tercipta bersama dengan kuasa material alam semesta, dari sana malam (sesudah alam penciptaan berlangsung) maka alam semesta terwujud. Dari sana pula samudera atmosfir yang mengandung prinsip-prinsip kosmik menjadi terwujud. Berdasarkan uraian diatas dapat dinyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa melalui kekuatan tapas-Nya memancarkan energi (cahaya) dari kegelapan yang pekat dan kosong, kemudian atas kehendak-Nya berlangsung proses penciptaan yang berasal dari energi atau cahaya-Nya yang maha dahsyat itu.
                   Selain uraian diatas, lebih jauh tentang proses penciptaan alam semesta (Titib, 2006: 170-171) menunjuk 16 mantram yang dapat memberi petunjuk tentang bagaimana Veda mendeskripsikan tentang penciptaan alam semesta ini, mantram-mantram tersebut adalah mantram Rgveda X.90.1-16, yang bunyinya sebagai berikut:

“Purusa (Manusia Kosmos) berkepala seribu, bermata seribu, berkaki seribu, memenuhi jagat raya, pada semua arah, mengisi seluruh angkasa (1)’

“Sesungguhnya Purusa adalah semua ini, semua yang ada sekarang dan yang akan datang, Dia adalah raja keabadian yang terus membesar dengan makanan (2)’

“Demikian hebat kebenaran-Nya, dan Purusa bahkan lebih besar dari ini. Semua wujud ini adalah ¼ (seperemat) dari diri-Nya , ¾ (tiga perempat) lagi adalah keabadian ada di sorga (3)’

“Tiga perempat (3/4) dari purusa pergi membumbung jauh, seperempat (1/4) lagi berada di alam ini yang berproses terus-menerus berselang-seling dalam berbagai wujud yang bernyawa dan yang tidak bernyawa (4)’

“Dari Dia Viraj ( Dia Yang Bercahaya ) lahir dan dari Viraj Dia kembali. Segera setelah Dia lahir Dia mengembang ke seluruh penjuru, mengembang mengatasi alam semesta (5)’

“Ketika para Dewa mengadakan upacara korban dengan Purusa sebagai persembahan, maka minyaknya adalah musim semi, kayu bakarnya adalah musim panas, dan sajian persembahanya adalah musim gugur (6)’

“Mereka mengorbankan sebagian korban pada rumput, Purusa yang lahir pada awal kejadian alam semesta. Pada Dia para dewa dan semua sadhya dan para resi mempersembahkan korban (7)’

“Dari korban Purusa dipersembahkan keluarlah dadih dan mentega yang sudah bercampur. Kemudian Dia jadikan binatang-binatang yang padanya berbeda. Baik binatang buas maupun binatang yang jinak (8)’

“Dari korban Purusa yang dipersembahkan, Rk (Rgveda) dan Sama (Samaveda) muncul. Dari Dia lahirkah metrik, dari Dia lahirlah Yajus (Yayurveda) (9)’

“Dari Dia lahirlah kuda dan binatang apa saja yang mempunyai gigi dua baris. Kemudian sapi lahir dari Dia, dari Dia pula lahirnya kambing dan biri-biri (10)’

“Ketika mereka (para Dewa) menjadikan Purusa sebagiankah dia ? Dan apakah mereka sebut (diberikan nama) pada kaki-Nya (11)’

“Dari mulut-Nya muncul Brahmana, dari lengan-Nya muncul Rajanya (Ksatriya), dari paha-Nya muncul Vaisya dan Sudra muncul dari kaki-Nya (12)’

“Bulan muncul dari pikiran-Nya, matahari muncul dari mata-Nya, Indra dan Dewa Agni muncul dari mulut-Nya, dan Dewa Vayu muncul nafas-Nya (13)’

“Dari pusat-Nya cakrawala ini muncul, dari kepala-Nya muncul langit, dari kaki-Nya muncul bumi, dari telinga-Nya lahir keempat penjuru mata angin, demikianlah Dia membentuk alam semesta ini (14)’

“Tujuh pagar kelilingnya upacara korban, tiga kali enam potong kayu bakar disiapkan, ketika para Dewa mempersembahkan upacara itu yang menjadikan Purusa sebagai korban (15)’

“Dewa-dewa dengan mengadakan upacara korban memuja Dia (Manusia Kosmos) yang juga merupakan upacara korban itu. Dia Yang Agung mencapai sorga yang mulia tempat para Sadhya, Dewa-dewa zaman dahulu (16)’

                   Titib (2006: 172) mengakhiri rujukan srutiya dengan menghadiri mantram berikut; ‘pada awalnya terlahirlah Hiranyagarbha, Dia yang demikian menunjukkan eksistensi-Nya menjadi raja dari semua makhluk, Dia yang menyangga bumi dan sorga ( regveda X.121.1).
                   Jika saja para ilmuwan bersikap jujur, maka para ilmuwan tidak dapat berkelid atas uraian mantram-mantram di atas bahwa Veda memiliki deskripsi yang maha luas tentang segala hal. Pantaslah Prof. Carl Sagan seorang kosmolog terkenal di dunia memberikan pujian atau penghormatan yang sedemikian mendalamnya kepada Veda dan Hinduisme. Semua benih gagasan kosmologi modern lahir dari Veda. Hal ini membuktikan bahwa Agama Hindu bukan sebuah dogma juga bukan apologi. Semua tindakan atau aktivitas Umat Hindu memiliki sumber rujukan yang komperensip.
                   Bila dicermati bunyi mantram Rgveda X.90.14 di atas dapat diyakini bahwa mantram tersebutlah yang menjadi cikal-bakal adanya istilah pemujaan kepada kaki (pada) Tuhan, dan memohon cucian air dari kaki Tuhan (wangsuh pada), juga pemujaan pada prthivi atau bumi. Dengan demikian bentuk pemujaan dalam Hinduisme memiliki landasan yang komprehensip. Demikian pula jika diperhatikan bunyi mantram Rgveda X.90.15 pada kalimat “tiga kali enam” potong kayu, hal ini mengisyaratkan tentang adanya suatu bilangan sakral yakni (3x6 =18), bilangan ini jika dijumlah dengan deret jumlah menjadi 1+8=9, suatu simbol angka (bilangan) sakral yakni jumlah sembilan Dewa Nawasanga yang menguasai setiap arah mata angin.
                   Dari uraian mantram-mantram di atas, maka dapat diketahui bahwa Kosmologi Hindu memiliki pijakan yang valid karena bersumber dari sruti atau wahyu. Walaupun sesungguhnya mantram-mantram di atas sudah sangat memadai untuk menggambarkan tentang keberadaan dan proses keberadaan alam semesta ini, namun untuk memberikan keyakinan yang mantap dan pantas kepada para pembaca, maka masih ditampilkan pula berbagai rujukan dari kitab-kitab pendukung Veda.     
Kesimpulan
                   Sebelum terciptakannya alam semesta ini, tidak ada apa-apa. Sebelum alam semesta diciptakan hanya Sang Hyang Widhi yang ada, Maha Esa dan tidak ada duanya. Alam semesta yang diciptakan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa merupakan wujud pancaran kemahakuasaan-Nya. Wibhuti adalah pancaran kemahakuasaan beliau melalui tapa. Tapa adalah pemusatan tenaga pikiran yang terkeram sehingga menimbulkan panas yang memancar. Dengan tapa, beliau menciptakan alam semesta ini beserta dengan isinya. Penciptaan ini terjadi secara bertahap, dari unsur yang sangat halus menjadi wujud yang keras dan kasar. Setelah semuanya ini tercipta, ke dalam ciptaan-Nya itulah beliau meresap menjadi satu. 

Selasa, 23 Oktober 2012

Itihasa Mahabarata



Yudhisthira mencapai surga
                        Tekanan batin selama beberapa hari ini telah terlalu berat menekan Arjuna. Ia telah disadarkan diri dengan air wangi. Arjuna siuman. Dengan tangisan yang mengguncang tubuhnya, ia memberitahu mereka bagaimana ia membakar mayat Balarama, Satyaki dan Krsna. Ia memeberitahu mereka segalanya. Ia memberitahukan mereka mengenai lautan yang telah memasuki kota Dvaraka. Cerita para perampok dan gagalnya Gandiva menakut-nakuti perampok jalanan adalah tragedi yang terakhir. Lima bersaudara itu terdiam. Mereka semua memikirkan hal yang sama. Arjuna memberitahu mereka tentang mimpi ketika Krsna mengucapkan selamat tinggal padanya. Air-mata mereka tidak mengalir lagi. Segalanya dalam diri mereka telah mati seketika itu juga ketika mereka mendengar tentang kematian Krsna. Tidak ada yang tersisa di dunia ini yang membuat mereka ingin bertahan hidup. Tidak ada artinya hidup di dunia ini lagi. Mereka sudah tidak tertarik pada apapun.
                        Yudhisthira berkata: “Arjuna, dalam cerek waktu kita telah meleleh hingga kita kehilangan diri kita sendiri. Sekarang waktunya bagi kita untuk meleleh dan kehilangan diri kita sendiri. Kita telah kehilangan segalanya yang kita sayangi. Dengan kematian Krsna hidup kita juga harus berakhir”. Arjuna berkata: “Ya, tuanku. Waktulah yang merupakan pemenang yang sebenarnya”. Mendengar kata-kata Yudhisthira dan Arjuna, Nakula, Sahadeva dan Bhima setuju dengan mereka. Pandava memutuskan untuk meninggalkan dunia ini dan mempersiapkan perjalanan terakhir. Yudhisthira membuat semua persiapan yang dibutuhkan. Ia menobatkan Pariksit sebagai raja. Yuyutsu mengumumkan kepada rakyat bahwa mereka memutuskan untuk menarik diri dari segalanya dan mempersiapkan perjalanan mereka ke surga. Tidak ada seorangpun yang bisa menghentikan mereka. Keputusan mereka sudah tetap.
                        Pandava bersiap-siap untuk melakukan perjalanan  yang besar ini. Memakai pakaian dari kulit kayu dan rusa, mereka berdiri di depan istana mengucapkan selamat tinggal untuk terakhir kalinya pada rakyat. Draupadi, memakai pakain dari kulit kayu dan tanpa mengenakan permata dan sutera, berdiri di sampingnya. Seluruh rakyat menangis. Pandava terlihat sama seperti beberapa tahun yang silam, ketika mereka mengungsikan diri dari Hastinapura. Tetapi sekarang berbeda. Kedamaian yang aneh telah memasuki jiwa mereka. Wajah mereka bersinar dengan cahaya yang berasal dari dalam diri mereka. Mereka mengucapkan selamat tinggal pada Hastinapura dan pergi.  
                        Pertama kali mereka pergi ke kota Dvaraka. Mereka melihat kota yang tenggelam di bawah air. Mereka berdiri di tepi pantai. Mereka melihat kota yang tenggelam di bawah air. Dengan melihat lautan itu mimpi mereka seperti berbicara pada mereka: mimpi mereka tentang masa lalu. Ketika mereka tenggelam dalam masa lalu, Agni muncul di depan mereka. Ia berkata: “Arjuna, kau masih memiliki Gandiva dan tempat panah itu. Aku mendapatkannya dari Varuna untukmu. Kembalikanlah pada Varuna”. Hati Arjuna sangat sedih. Ia mengambil Gandiva dan tempat busurnya. Ia melakukan pradaksina pada mereka dan dengan air mata bercucuran ia membuang senjata itu ke lautan.
                        Pandava mengadakan perjalanan ke utara. Dengan segera mereka sampai ke jajaran pegunungan: Himavan yang agung. Mereka menyeberangi pegunungan itu. Mereka menuju ke gunung Meru. Saat mereka berjalan, Draupadi tewas. Ini adalah kejadian yang mengerikan. Bhima terdiam karena keterkejutannya. Ia menenangkan diri dan bertanya pada Yudhisthira mengapa Draupadi yang tidak berdosa harus tewas. Yudhisthira berkata: “Bhima, walapun kita semua adalah suaminya ia lebih sayang pada Arjuna. Itulah satu-satunya dosa yang ia lakukan. Tetapi selain itu ia memiliki hati yang suci. Itulah alasan mengapa ia sampai sejauh ini”. Mereka meninggalkan Draupadi dan  melanjutkan perjalanan. Sahadeva adalah orang berikutnya yang tewas. Itu karena ia bangga pada kebijaksanaannya sehingga ia harus tewas, kata Yudhisthira. Nakula adalah orang berikutnya yang tewas. Yudhisthira memberitahu Bhima bahwa ia mabuk karena ketampanannya. Setelah itu giliran Arjuna. Bhima diberitahu bahwa Arjuna harus tewas karena ia telah bersumpah untuk membunuh semua musuhnya sendiri. Ia telah menghina para ksatriya agung lainnya dengan kata-katanya itu. Itu alasan untuk kematiannya. Mereka melanjutkan perjalanan itu lagi. Bhima adalah orang terakhir yang tewas. Ia memanggil Yudhisthira: “Mengapa aku harus mati? Apa yang telah aku lakukan, yang mulia?” Yudhisthira berkata: “Bhimaku yang tercinta, kau adalah yang paling aku sayangi. Tetapi satu-satunya kesalahan yang bisa aku temukan pada dirimu adalah: kau menyombongkan kekuatanmu. Kau juga orang yang rakus. Kalau tidak, tidak ada seorangpun yang seperti dirimu di seluruh dunia ini, Bhima”. Yudhisthira terus berjalan dan terus, sendiri ia mengejar kedamaian.
                        Sejak mereka meninggalkan Hastinapura, seekor anjing telah mengikuti Pandava. Anjing itu ikut bersama rombongan sampai akhir perjalanan. Saudara-saudara Yudhisthira telah tewas dan ratu mereka juga telah tewas. Tetapi anjing ini masih bersama Yudhisthira. Ia telah mencapai perjalanan yang terakhir. Yudhisthira melihat cahaya aneh yang bersinar disekitarnya. Ia melihat Indra menghampiri dengan keretanya. Indra turun dari keretanya dan mendekati Yudhisthira. Ia berkata: “Yudhisthira, kau harus naik kereta ini. Akulah yang mengendarainya sebagai tanda kehormatan. Ikutlah aku ke ke surga”. Yudhisthira tidak ingin pergi ke surga tanpa saudara-saudaranya dan tanpa Draupadi. Ia berkata: “Saudaraku dan Draupadi yang tercinta mengawali perjalanan ini bersamaku. Mereka semua telah tewas. Tubuh mereka telah ditinggalkan dan aku tidak tahu kemana mereka telah pergi. Terkecuali mereka semua ikut bersamaku, aku tidak akan ikut bersamaku”. Indra tersenyum padanya dan berkata: “Yudhisthira mereka juga telah pergi ke surga. Mereka telah melepaskan tubuh manusia mereka. Tetapi kau telah diminta untuk ikut bersama. Kau telah diberikan anugerah untuk memasuki kediaman para dewa dengan tubuh manusiamu”. Yudhisthira berkata: “Aku merasa sangat terhormat, tuanku, dengan kedatanganmu. Sekarang kau telah meyakinkan aku bahwa aku akan bertemu dengan orang-orang yang aku sayangi, aku siap untuk pergi ke surga bersamamu”.
                                “Ijinkanlah aku membawa anjing ini bersamaku. Anjing ini sudah bersamaku sejak aku meninggalkan Hastinapura”. Indra tersenyum pada mereka dan kecintaannya pada anjing itu. Ia berkata: “Yudhisthira, kau telah dianugerahkan keabadian. Kau dan aku sama. Kau adalah orang yang paling beruntung di dunia. Janganlah kehilangan kesempatan ini karena sayangmu pada anjing itu. Tidak ada tempat bagi seekor anjing di surga. Tinggalkanlah anjing itu dan ikutlah bersamaku”. Yudhisthira menggelengkan kepalanya. Ia berkata: “ Yang mulia, kau memintaku melakukan sesuatu yang tidak bisa aku lakukan. Selama ini anjing ini telah berbagi duka denganku. Anjing ini sangat berbhakti padaku. Aku tidak bisa meninggalkan anjing ini”. Indra berkata: “kau sangat bodoh. Kau sudah nyaris sampai ke surga dan kau masih dipengaruhi oleh perasaan manusia. Aku tidak bisa membawa anjing ini dengan keretaku”. Yudhisthira berkata: “semua tindakanku ini yang telah membuat aku mendapatkan surga akan hancur jika aku bertindak tanpa cinta-kasih pada anjing ini. Sudah menjadi peraturan untuk tidak meninggalkan siapapun yang bergantung padaku. Anjing ini bergantung padaku. Aku tidak bisa meninggalkannya dan pergi”. Indra berkata: “Kau telah mengabaikan semua saudaramu dan ratumu. Apakah anjing ini lebih kau sayangi?” Yudhisthira berkata: “ Mereka semua telah mati. Aku tidak bisa menghidupkan mereka. Aku tidak akan meninggalkan mereka jika mereka masih hidup. Tetapi anjing ini masih hidup. Aku tida bisa meninggalkannya. Aku tidak akan memasuki surga kecuali diijinkan untuk membawa anjing ini bersamaku. Itulah yang pasti”.  
                        Anjing ini sekarang telah berubah wujud. Anjing itu berubah wujud menjadi ayahnya, Dharma. Ia berkata: “Putraku, aku bangga padamu. Cinta kasihmu telah mengambil hatiku. Suatu kali, di Dvaitavana ketika kau diuji dihadapan saudara-saudaramu yang telah tewas, aku menguji kebenaran dalam dirimu. Kau lulus ujian itu saat kau meminta agar Nakula yang dihidupkan. Lagi, aku telah mengujimu. Pergilah bersama dengan Indra ke surga yang telah berhasil kau dapatkan”. Tempat itu sekarang dipenuhi dengan penghuni surga. Mereka telah datang untuk melihat orang pertama yang berhasil mencapai surga dengan tubuh mereka. Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Narada berkata: “Yudhisthira, kau sekarang akan bertemu dengan para leluhurmu, para raja yang agung, yang pernah memerintah bumi sebelum dirimu, semuanya ada disini. Kau bisa bersama dengan mereka”. Yudhisthira berkata: “Aku merasa sangat terhormat dengan kata-katamu itu, yang mulia”. Yudhisthira menaiki kereta Indra yang agung.
Dikutip dari:
Kitab Itihasa Mahabharata terbitan Paramita Surabaya 2004 oleh Kamala Subramaniam